Happy birthday Naru-kunn!!!
*walau telat sehari T-T*
So..., walaupun mungkin tulisan pertamaku ini masih banyak kurangnya (T-T), semoga kalian suka dan mau memberi saran yang membangun... ^_^, Happy reading...
Itsumo Anata To
(Selalu Denganmu)
Dislaimer : Kishimoto-sensei
Story by : Hanna ^_^
Dislaimer : Kishimoto-sensei
Story by : Hanna ^_^
Pair : U. Naruto x H. Hinata
Genre : Drama Romance (semoga ngena, baru pertama soalnya :v)
Rate : T (nggak tau beginian, katanya kalo romance itu T, moga-moga nggak salah ya... :v)
Warning: OOC, gaje (mungkin), gak nyambung (mungkin), nggak kerasa romantisnya (karna baru pertama), TYPO
Pria itu termenung sambil memandangi gadis cantik pujaannya. Ya, Hinata-gadis cantik bersurai indigo itu tengah terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Infus dan segala alat bantu lainnya terlihat disekeliling gadis itu. Dan itu semakin membuat hatinya terkoyak. Hatinya berandai-andai--andai dia mengetahui penyakit kekasihnya ini dari dulu, andai dia lebih peka lagi terhadap kondisi kekasihnya, andai... 'Huuft...' Hela napasnya, tanpa sadar membangunkan sang tuan putri. Perlahan dibukanya sepasang mata yang selalu menghipnotis sang pria. Manik amethys tanpa pupil-khas keluarga Hyuuga. Perlahan gadis itu tersenyum lemah. Diusapnya tangan warna tan keksihnya dengan teramat lembut.
"Naruto-kun... Kau... Ada di sini? Sejak kapan?"
"Ck... Kau ini... Apa kau selelap itu hingga tidak menyadari kedatanganku? Aku sudah di sini sejak tadi pagi. Kau tidak sadar?"
"Ohh?! Apa sekarang... sudah petang?! Aku tidur terlalu lama ya... Haha... Ha..."
Bahkan tawanya kini terasa hambar. Meski sedang tertawa, tawa itu seperti menahan sebongkah kesedihan dan sakit teramat sangat.
Naruto tidak menjawab, dia hanya memandang gadisnya itu. Gadis yang berencana ia lamar tepat sepuluh bulan sebelum hari ini. Ditatapnya dalam manik amethys tak berpupil itu. Berusaha mencari seberkas benih kebahagian yang ingin ia besarkan. Namun nihil.
"Hime... Kuatlah... Kumohon kuatlah... Untuk ku... Kuatlah untuk ku... Berjuanglah, aku selalu disini menemanimu... " ucapnya penuh emosi. Air matanya yang menggenang itu dia sembunyikan dibawah anak rambut depannya yang cukup panjang.
"Haha... Kau bicara apa Naru-kun... Aku disini. Kau tak perlu cemas, dan... menagis..." candanya
"Ck... Mau sampai kapan kau sembunyikan itu, hahh?! Kau tau rasanya mendengar berita tiba-tiba?! Aku terkejut, Hinata!! Kenapa kau tidak bilang dari awal?! Tentang operasimu itu!!"
Hinata terkejut bukan main. Dia tidak menyangka rahasia terbesarnya akan diketahui dengan cepat oleh kekasihnya itu.
"Na... Naruto-kun?! Bagaimana... Bagaimana kau bisa tahu?!"
'Haahh...' "Percuma saja memberi tahumu dari mana aku tahu. Yang pasti aku sangat marah padamu". Hinata tertunduk. Tak berani menatap manik saphire secerah langit milik kekasihnya.
Lama mereka terdiam, hingga...
"Ohh... Naruto? Kalian sedang bicara? Maaf aku mengganggu, tapi aku harus memeriksa keadaan Hinata-chan." Seorang dokter muda masuk ke ruang tersebut. Haruno Sakura, kekasih sahabat baiknya-Sasuke.
"Oh... Baik, aku akan keluar," jawab Naruto lesu.
"Apaa... Kalian baik-baik saja?? Hinata??"
"Ya, kami baik-baik saja Saku-chan. Kau tak perlu cemas"
"Hinata... Jangan bohong padaku. Katakan yang sebenarnya! Ada ap...!!" perkataannya terhenti "Apa Naruto sudah tahu?!! Katakan, Hina-chan!!"
Tes... Setetes air tampak membasahi selimut Hinata. Dan diteruskan dengan tetesan-tetesan lain yang semakin deras.
"Hina... Katakan. Apa Naruto sudah tahu?" nada bicara Sakura melembut.
"I... Iya Saku-chan. Naruto-kun sudah tahu... Apa yabg harus kukatakan sekarang??" Sakura diam. Dia tahu benar apa penyakit Hinata, dan seharusnya Hinata tidak menyembunyikan penyakitnya itu.
"Katakan, Saku-chan! Apa yang bisa kukatakan padanya." tangis Hinata pecah. Sakura diam. Ia merasa tidak harus ikut campur masalah ini.
"Hufft... Tidak Hinata, kau harus selesaikan yang ini sendiri. Aku tidak bisa ikut campur. Bagaimana pun juga, ini tentang kau dan Naruto. Aku tidak berhak," jelas Sakura. Hinata semakin kalut. Di sisi lain, ada operasi pengangkatan kanker yang akan dijaninya. Di sisi yang lainnya, hubungannya dengan Naruto. Tidak ada yang menguntungkan baginya di kedua pilihan itu.
.
.
.
Diwaktu yang sama, Naruto duduk di luar sambil termenung. Sebenarnya dia sudah tahu perubahan keadaan Hinata. Tapi ia terlalu bodoh untuk menyadarinya. Dia benar-benar merutuki kebodohannya. Ya, dia tahu. Mulai dari kepala Hinata yang -sangat- sering pusing, mimisan secara tiba-tiba, dan stamina Hinata yang terus penurun setiap harinya. Bahkan ia menyadari warna kulit Hinata tak secerah dulu, terkesan lebih pucat. Pernah suatu hari, ia menemukan banyak obat dengan berbagai fubgsi dan dosis. 'Ugh... Kenapa kau tak pernah mengatakannya padaku? Apa kau terlalu takut? Kau takut aku akan meninggalkanmu karena penyakitmu? Ck... Kau bodoh, Hinata...'
Flashback ON (10 bulan yg lalu)
"Hime, kau mau es krim??"
"Emm... Ya. Aku mau vanilla."
"Baikah, tunggu di sini, aku akan beli."
Pagi ini Naruto mengajak Hinata untuk mengunjungi hutan lindung Konoha. Tempat yang sangat indah sejuk. Hinata pikir, akan bagus untuk dirinya yang sedang butuh udara segar.
"Hinata! Ini... Terlalu lama ya??"
"Hmm... Tidak. Santai saja Naruto-kun. Aku suka tempat ini. Jadi, berlama-lama pun tak apa."
"Haha... Kau suka?? Sudah pasti, wajahmu itu mudah ditebak, hahaha..."
Deg!!
"Ughh..."
"Emm, ada apa?? Pusing lagi?? Akhir-akhir ini kau sering pusing, Hinata."
"Tidak, bukan pusing." Hibata mengorek isi tasnya, mencoba mencari tissu untuk menyeka darahnya.
"Pasti mimisan?? Mana es krim mu, kupegangkan."
"Uhh... Tidah ada. Naruto kun, aku ke toilet dulu, jaga tasku, ya"
"Ya... Cepatlah"
Setelah Hianat pergi, Naruto duduk sendiri di bangku taman itu. Menikmati semilir angin hutan Konoha yang masih asri. Tiba-tiba, terbersit di hatinya untuk mengecek iso tas kekasihnya. Dengan hati-hati, dibukanya slingbag rajut warna nila milik Hinata. Matanya terbelalak tak percaya setelah melihat isi tasnya. Kapsul, tablet, dan pil dengan berbagai warna, cara pemakaian dan dosis. Ditutupnya kembali tas itu saat menyadari Hinata sudah tampak dari balik toilet.
"Naru-kun, aky lama ya??"
" Tidak," jawab Naruto tak acuh sambil memakan es krimnya
"Hmm... Baiklah, mana es krim ku"
Naruto menyodorkan eskrim milik Hinata tanpa suara. Hinata menyadari ada yang tidak beres.
"Naru-kun, kalau kencan, kita kesini lagi ya!"
"Hn"
"Ohh... Lihat itu!! Anak itu terjatuh! Kau lihat, Naruto-kun?"
"Hn"
"Ayolah, Naruto-kun... Ada apa? Jangan diam begitu..." Hianta mencoba merajuk. Tiba-tiba, Naruto menatapnya dengan pandangan mengintimidasi.
"A... Ada apa, Naruto-kun?"
"Justru aku yang harusnya bertanya. Ada apa? Obat apa itu? Katakan padaku"
"Ahh... It... Itu... Obat... Obat milik Neji-ni dan tou-sama. Ya, obat milik mereka. Haha..."
"Kenapa kau yang bawa?"
"Ohh... Kemarin persediaan di rumah habis, jadi aku mengambilnya dari apoteker langganan keluarga. Apa kau curiga padaku, Naru kun?"
'Huuhh...' "Tadinya ya, tapi sekarang tidak. Heheh... Kupikir obat apa tadi" Hinata tersenyum menanggapi tingkah Naruto. Namun, sebuah senyum yang jika diperhatikan, dalah senyum getir.
'Huufft... Maaf Naru-kun...'
Flashback OFF
'Ughh... Bodohnya aku'. Naruto merasa bodoh sendiri.
Ngiikk...
"Naruto, Hinata ingin bicara dengan mu" Sakura keluar sambil memanggil Naruto.
"Hm... Ya.."
Di dalam, Hinata sedang duduk bersandar di ranjangnya sambil membaca buku. Perlahan Naruto mendekati ranjang dan duduk di atas ranjang di sebelah Hinata.
"Hime..."
Hinata menoleh sambil mengusap pipinya. Tampak mata sayunya yang sembab. Naruto mengambil buku yang dipegang Hinata dan menaruhnya di meja. Direngkuhnya bahu mungil Hinata yang terasa makin kurus. Kepalanya ia sandarkan di bahu kecil Hinata. Hinata berkaca-kaca. Dibalasnya pelukan kekasihnya itu dengan memeluk erat punggung Naruto. Diresapinya wangi sitrus segar-khas milik Naruto. Ia tak mampu menahan semuanya lagi. Pertahanannya seakan roboh saat Naruto mengusap punggung kurus miliknya.
Hinata menangis sesenggukan dibahu hangat Naruto. Dikeluarkannya semua rasa sakit yang selama ini ia sembunyikan. Naruto membelai lembut rambut Hinata seakan mengizinkannya terus menangis hingga lega. Setelah cukup reda, Naruto melonggarkan pelukannya. Ditatapnya manik amethys sayu milik Hinata.
"Kau sudah merasa baikan? Bisa kau ceritakan semuanya padaku?"
"Na... Naruto-kun... Maaf... Maafkan aku... Aku... menyembunyikan semuanya. Maaf karena aku tidak terus terang padamu. Aku melanggar janjiku sendiri untuk terus jujur padamu. Maaf karena ak..., " ucapannya terpotong.
"Sst... Sudah cukup. Aku tahu semuanya. Tapi ingatlah ini Hinata, aku tidak akan meninggalkanmu meski seburuk apapun keadaanmu. Dan kau harus percaya kata-kataku ini... Ini bukan bualan semata, Hinata. Aku sungguh-sungguh mengatakan ini. "
"Maaf... Aku sama sekali tidak meragukan cintamu, Naruto-kun... Aku... Aku hanya takut kau akan menganggapku manja dan pengadu. Maaf..."
"Haha... Alasanmu konyol. Sekarang, jangan ragu untuk mengatakan apapun, calon istriku..."
Hinata terkejut bukan main melihat cincin emas putih dengan hiasan berlian di depannya. Dia tidak menyangka Naruto akan melamarnya saat ini. Hinata terharu.
"Na... Naru... Naruto-kun?! Ini..."
"Huhh... Ini agak menyebalkan, tapi... Will you marry me, Hime?"
Wajah Hinata merona hebat. Sangat lusu seperti udang segar yang direbus.
"I... I... Iya... Aku mau..."
Air mata Hinata langsung menetes saat Naruto menyematkan cincin itu di jari manis tangan kanannya. Ia pun memeluk Naruto dengan bahagia.
.
.
.
Ya... Itu mungkin kado terindah dari Naruto untuknya. Hadiah terakhir sebelum...
"Cepat!! Ambil senternya!! Kita harus segera mencari akarnya"
Dengan cekatan dan hati-hati, Sakura mengoprasi kenker darah Hinata. Peluhnya menetes di sana-sini. Sakura berusaha sekuat tenaga untuk menyelamatkan sahabat kecilnya itu.
"Ambil kapas!! Cepat lakukan transfusi darah untuknya! Golongan darahnya A positif!"
Sakura masih mencari akar sel kanker darah Hinata yang diwarisinya dari sang ibu.
'Hinata, aku tahu kau kuat. Sembuhlah demi aku dan Naruto...'
Tuutt... Tuutt.. Tuuutttt...
'Deg! Hinata... Kuatlah' Naruto merasa resah.
Dia hanya berjalan mondar-mandir di depan pintu ruang operasi
"Apa?! Tidak mungkin?!! Cepat ambil alat pacu jantung!!"
Semua tim medis bekarja lebih ekstra, alat elektrokardiograf telah menunjukkan garis lurus panjang. Sakura tak mau menyerah.
"20.000!?"
"Aman"
"Kita coba naikkan, 30.000!?"
"Aman"
"Haruno-san, korban belum respon!"
"Naikkan lagi!! 40.000!!?"
"Tidak aman, Haruno-san!!"
"Tidak!! Kita harus mencobanya!!"
"Tidak, Haruno-san!! Terlalu beresiko!"
"Tidak... Tidak mungkin!! Dia sahabatku!! Kita harus selamatkan dia!!" Sakura masih tak ingin menyerah. Percobaan terakhir dilakukan. Namun...
"Ohh... Tidak.. Hinata!! Hinata! Buka matamu! Hinata... Jangan tinggalkan aku... Apa yang harus aku katakan pada Naruto nanti... Kumohon, Hinata..." Sakura menagis menyaksikan kehendak dari Kami-sama yang sedang terjadi di hadapannya saat ini.
Hinata terkejut bukan main. Dia tidak menyangka rahasia terbesarnya akan diketahui dengan cepat oleh kekasihnya itu.
"Na... Naruto-kun?! Bagaimana... Bagaimana kau bisa tahu?!"
'Haahh...' "Percuma saja memberi tahumu dari mana aku tahu. Yang pasti aku sangat marah padamu". Hinata tertunduk. Tak berani menatap manik saphire secerah langit milik kekasihnya.
Lama mereka terdiam, hingga...
"Ohh... Naruto? Kalian sedang bicara? Maaf aku mengganggu, tapi aku harus memeriksa keadaan Hinata-chan." Seorang dokter muda masuk ke ruang tersebut. Haruno Sakura, kekasih sahabat baiknya-Sasuke.
"Oh... Baik, aku akan keluar," jawab Naruto lesu.
"Apaa... Kalian baik-baik saja?? Hinata??"
"Ya, kami baik-baik saja Saku-chan. Kau tak perlu cemas"
"Hinata... Jangan bohong padaku. Katakan yang sebenarnya! Ada ap...!!" perkataannya terhenti "Apa Naruto sudah tahu?!! Katakan, Hina-chan!!"
Tes... Setetes air tampak membasahi selimut Hinata. Dan diteruskan dengan tetesan-tetesan lain yang semakin deras.
"Hina... Katakan. Apa Naruto sudah tahu?" nada bicara Sakura melembut.
"I... Iya Saku-chan. Naruto-kun sudah tahu... Apa yabg harus kukatakan sekarang??" Sakura diam. Dia tahu benar apa penyakit Hinata, dan seharusnya Hinata tidak menyembunyikan penyakitnya itu.
"Katakan, Saku-chan! Apa yang bisa kukatakan padanya." tangis Hinata pecah. Sakura diam. Ia merasa tidak harus ikut campur masalah ini.
"Hufft... Tidak Hinata, kau harus selesaikan yang ini sendiri. Aku tidak bisa ikut campur. Bagaimana pun juga, ini tentang kau dan Naruto. Aku tidak berhak," jelas Sakura. Hinata semakin kalut. Di sisi lain, ada operasi pengangkatan kanker yang akan dijaninya. Di sisi yang lainnya, hubungannya dengan Naruto. Tidak ada yang menguntungkan baginya di kedua pilihan itu.
.
.
.
Diwaktu yang sama, Naruto duduk di luar sambil termenung. Sebenarnya dia sudah tahu perubahan keadaan Hinata. Tapi ia terlalu bodoh untuk menyadarinya. Dia benar-benar merutuki kebodohannya. Ya, dia tahu. Mulai dari kepala Hinata yang -sangat- sering pusing, mimisan secara tiba-tiba, dan stamina Hinata yang terus penurun setiap harinya. Bahkan ia menyadari warna kulit Hinata tak secerah dulu, terkesan lebih pucat. Pernah suatu hari, ia menemukan banyak obat dengan berbagai fubgsi dan dosis. 'Ugh... Kenapa kau tak pernah mengatakannya padaku? Apa kau terlalu takut? Kau takut aku akan meninggalkanmu karena penyakitmu? Ck... Kau bodoh, Hinata...'
Flashback ON (10 bulan yg lalu)
"Hime, kau mau es krim??"
"Emm... Ya. Aku mau vanilla."
"Baikah, tunggu di sini, aku akan beli."
Pagi ini Naruto mengajak Hinata untuk mengunjungi hutan lindung Konoha. Tempat yang sangat indah sejuk. Hinata pikir, akan bagus untuk dirinya yang sedang butuh udara segar.
"Hinata! Ini... Terlalu lama ya??"
"Hmm... Tidak. Santai saja Naruto-kun. Aku suka tempat ini. Jadi, berlama-lama pun tak apa."
"Haha... Kau suka?? Sudah pasti, wajahmu itu mudah ditebak, hahaha..."
Deg!!
"Ughh..."
"Emm, ada apa?? Pusing lagi?? Akhir-akhir ini kau sering pusing, Hinata."
"Tidak, bukan pusing." Hibata mengorek isi tasnya, mencoba mencari tissu untuk menyeka darahnya.
"Pasti mimisan?? Mana es krim mu, kupegangkan."
"Uhh... Tidah ada. Naruto kun, aku ke toilet dulu, jaga tasku, ya"
"Ya... Cepatlah"
Setelah Hianat pergi, Naruto duduk sendiri di bangku taman itu. Menikmati semilir angin hutan Konoha yang masih asri. Tiba-tiba, terbersit di hatinya untuk mengecek iso tas kekasihnya. Dengan hati-hati, dibukanya slingbag rajut warna nila milik Hinata. Matanya terbelalak tak percaya setelah melihat isi tasnya. Kapsul, tablet, dan pil dengan berbagai warna, cara pemakaian dan dosis. Ditutupnya kembali tas itu saat menyadari Hinata sudah tampak dari balik toilet.
"Naru-kun, aky lama ya??"
" Tidak," jawab Naruto tak acuh sambil memakan es krimnya
"Hmm... Baiklah, mana es krim ku"
Naruto menyodorkan eskrim milik Hinata tanpa suara. Hinata menyadari ada yang tidak beres.
"Naru-kun, kalau kencan, kita kesini lagi ya!"
"Hn"
"Ohh... Lihat itu!! Anak itu terjatuh! Kau lihat, Naruto-kun?"
"Hn"
"Ayolah, Naruto-kun... Ada apa? Jangan diam begitu..." Hianta mencoba merajuk. Tiba-tiba, Naruto menatapnya dengan pandangan mengintimidasi.
"A... Ada apa, Naruto-kun?"
"Justru aku yang harusnya bertanya. Ada apa? Obat apa itu? Katakan padaku"
"Ahh... It... Itu... Obat... Obat milik Neji-ni dan tou-sama. Ya, obat milik mereka. Haha..."
"Kenapa kau yang bawa?"
"Ohh... Kemarin persediaan di rumah habis, jadi aku mengambilnya dari apoteker langganan keluarga. Apa kau curiga padaku, Naru kun?"
'Huuhh...' "Tadinya ya, tapi sekarang tidak. Heheh... Kupikir obat apa tadi" Hinata tersenyum menanggapi tingkah Naruto. Namun, sebuah senyum yang jika diperhatikan, dalah senyum getir.
'Huufft... Maaf Naru-kun...'
Flashback OFF
'Ughh... Bodohnya aku'. Naruto merasa bodoh sendiri.
Ngiikk...
"Naruto, Hinata ingin bicara dengan mu" Sakura keluar sambil memanggil Naruto.
"Hm... Ya.."
Di dalam, Hinata sedang duduk bersandar di ranjangnya sambil membaca buku. Perlahan Naruto mendekati ranjang dan duduk di atas ranjang di sebelah Hinata.
"Hime..."
Hinata menoleh sambil mengusap pipinya. Tampak mata sayunya yang sembab. Naruto mengambil buku yang dipegang Hinata dan menaruhnya di meja. Direngkuhnya bahu mungil Hinata yang terasa makin kurus. Kepalanya ia sandarkan di bahu kecil Hinata. Hinata berkaca-kaca. Dibalasnya pelukan kekasihnya itu dengan memeluk erat punggung Naruto. Diresapinya wangi sitrus segar-khas milik Naruto. Ia tak mampu menahan semuanya lagi. Pertahanannya seakan roboh saat Naruto mengusap punggung kurus miliknya.
Hinata menangis sesenggukan dibahu hangat Naruto. Dikeluarkannya semua rasa sakit yang selama ini ia sembunyikan. Naruto membelai lembut rambut Hinata seakan mengizinkannya terus menangis hingga lega. Setelah cukup reda, Naruto melonggarkan pelukannya. Ditatapnya manik amethys sayu milik Hinata.
"Kau sudah merasa baikan? Bisa kau ceritakan semuanya padaku?"
"Na... Naruto-kun... Maaf... Maafkan aku... Aku... menyembunyikan semuanya. Maaf karena aku tidak terus terang padamu. Aku melanggar janjiku sendiri untuk terus jujur padamu. Maaf karena ak..., " ucapannya terpotong.
"Sst... Sudah cukup. Aku tahu semuanya. Tapi ingatlah ini Hinata, aku tidak akan meninggalkanmu meski seburuk apapun keadaanmu. Dan kau harus percaya kata-kataku ini... Ini bukan bualan semata, Hinata. Aku sungguh-sungguh mengatakan ini. "
"Maaf... Aku sama sekali tidak meragukan cintamu, Naruto-kun... Aku... Aku hanya takut kau akan menganggapku manja dan pengadu. Maaf..."
"Haha... Alasanmu konyol. Sekarang, jangan ragu untuk mengatakan apapun, calon istriku..."
Hinata terkejut bukan main melihat cincin emas putih dengan hiasan berlian di depannya. Dia tidak menyangka Naruto akan melamarnya saat ini. Hinata terharu.
"Na... Naru... Naruto-kun?! Ini..."
"Huhh... Ini agak menyebalkan, tapi... Will you marry me, Hime?"
Wajah Hinata merona hebat. Sangat lusu seperti udang segar yang direbus.
"I... I... Iya... Aku mau..."
Air mata Hinata langsung menetes saat Naruto menyematkan cincin itu di jari manis tangan kanannya. Ia pun memeluk Naruto dengan bahagia.
.
.
.
Ya... Itu mungkin kado terindah dari Naruto untuknya. Hadiah terakhir sebelum...
"Cepat!! Ambil senternya!! Kita harus segera mencari akarnya"
Dengan cekatan dan hati-hati, Sakura mengoprasi kenker darah Hinata. Peluhnya menetes di sana-sini. Sakura berusaha sekuat tenaga untuk menyelamatkan sahabat kecilnya itu.
"Ambil kapas!! Cepat lakukan transfusi darah untuknya! Golongan darahnya A positif!"
Sakura masih mencari akar sel kanker darah Hinata yang diwarisinya dari sang ibu.
'Hinata, aku tahu kau kuat. Sembuhlah demi aku dan Naruto...'
Tuutt... Tuutt.. Tuuutttt...
'Deg! Hinata... Kuatlah' Naruto merasa resah.
Dia hanya berjalan mondar-mandir di depan pintu ruang operasi
***
Semua tim medis bekarja lebih ekstra, alat elektrokardiograf telah menunjukkan garis lurus panjang. Sakura tak mau menyerah.
"20.000!?"
"Aman"
"Kita coba naikkan, 30.000!?"
"Aman"
"Haruno-san, korban belum respon!"
"Naikkan lagi!! 40.000!!?"
"Tidak aman, Haruno-san!!"
"Tidak!! Kita harus mencobanya!!"
"Tidak, Haruno-san!! Terlalu beresiko!"
"Tidak... Tidak mungkin!! Dia sahabatku!! Kita harus selamatkan dia!!" Sakura masih tak ingin menyerah. Percobaan terakhir dilakukan. Namun...
"Ohh... Tidak.. Hinata!! Hinata! Buka matamu! Hinata... Jangan tinggalkan aku... Apa yang harus aku katakan pada Naruto nanti... Kumohon, Hinata..." Sakura menagis menyaksikan kehendak dari Kami-sama yang sedang terjadi di hadapannya saat ini.
***
Deg!!
'Hinata...'
Seketika Naruto merasakan kecemasan luar biasa. Dia tidak tahu apa yang terjadi didalam.
"Ini sudah 5 jam. Kenapa belum selesai?"
Rupanya Neji juga menyadari adanya sebuah keganjilan.
Sakura membuka pintu ruang operasi dengan ekspresi tak terbaca. Matanya sayu, badannya terlihat lemas. Dan... matanya sembab. Naruto segera tanggap. Dihampirinya Sakura dan dipegangnya erat bahu Sakura. Dia mengguncang bahu Sakura berkali kali, namun sama sekali tak ada perubahan reaksi. Naruto yang mulai kehilangan kesabaran pun berteriak.
"Ada apa,Sakura?! Katakan!! Operasinya berhasil kan, Sakura? Katakan padaku!! Kumohon... Katakan..." air matanya tak terbendung membayang segala kemungkinan terburuk yang bisa saja terjadi pada Hinata.
"Dia..." Sakura mendongak. "... sudah pergi..."
Deg! "Dia begitu jahat... Dia... Tak mendengarkanku sedari tadi... " kata Sakura terputus putus dan tiba-tiba tubuhnya ambruk. Sakura pingsan dihadapan Naruto dan segera diambil alih oleh Sasuke yang ada disana. Naruto menerobos masuk kedalam ruang operasi dan mendapati sebuah tubuh yang akan ditutup oleh kain putih panjang.
Dia melihat jelas mahkota sewarna blueberry milik Hinata, bagian tubuh teratas milik Hinata sebelum benar-benar tertutup oleh kain sepenuhnya. Tubuhnya merasa lemas seketika. Semua sisa-sisa energinya menguap entah kemana. Hampir saja tubuhnya terjatuh jika tidak ditangkap oleh ayahnya, Minato. Pandangannya mulai blur. Terhalang oleh cairan bening tanda kehilangan.
Dia melihat jelas mahkota sewarna blueberry milik Hinata, bagian tubuh teratas milik Hinata sebelum benar-benar tertutup oleh kain sepenuhnya. Tubuhnya merasa lemas seketika. Semua sisa-sisa energinya menguap entah kemana. Hampir saja tubuhnya terjatuh jika tidak ditangkap oleh ayahnya, Minato. Pandangannya mulai blur. Terhalang oleh cairan bening tanda kehilangan.
Pemakaman Hinata dilaksanakan keesokan paginya. Semua teman- teman mereka berkumpul di sana. Bahkan Gaara, Kankurou dan Temari ikut dalam acara pemakaman Hinata. Sakura tidak bisa menghentikan tangisnya. Bahu Sasuke benar-benar basah oleh air matanya. Naruto sendiri masih tidak bicara sedari kemarin. Pemakaman Hinata juga dihadiri oleh sensei-sensei akademi mereka. Semua hanyut dalam kesedihan.
Seakan ikut bersedih, tiba-tiba langit turun hujan. Semua pelayat meninggalkan pemakaman kecuali Naruto yang masih bertahan disamping pusara Hinata sambil menatapnya nanar. Air matanya telah bercampur dengan derasnya hujan.
Seakan ikut bersedih, tiba-tiba langit turun hujan. Semua pelayat meninggalkan pemakaman kecuali Naruto yang masih bertahan disamping pusara Hinata sambil menatapnya nanar. Air matanya telah bercampur dengan derasnya hujan.
Hari itu, tepat 3 tahun mereka bersama. Di saat yang sama pula, sang gadis-Hinata- pergi meninggalkan kekasihnya... Selamanya...
*FLASHBACK OFF*
'Haahh'... Naruto menghela napas singkat.
Kenangan tentang seorang gadis yang dicintainya. Yang juga telah pergi menghadap Sang Kaami-sama. 'Ohh... Kaami-sama...' Kepala Naruto menengadah. Beralih menatap pepohonan pinus yang menjulang di hutan itu. Tepat di bangku yang selalu didudukinya bersama Hinata.
Dia memejamkan mata, meresapi dinginnya angin hutan Konoha. 'Setega itukah dirimu? Kau tak membiarkan aku membahagiakannya terlebih dahulu... Kau tegesa-gesa mengambilnya... Andai kau sedikit mengulur waktu dan membuat operasi itu berhasil... Dan memperpanjang waktunya... Aku... Aku pasti akan menikahinya... Dan kau malah menuruti dia... Kaami-sama...'
'Huufftt' Naruto menghela napas singkat. Dia tampak mengeluarkan selembar kertas lecek yang seperti sudah berkali kali dibaca. Meski kertasnya sudah lecek, tidak menghilangkan keindahan tulisan tangan si pengirim. Perlahan, Naruto membaca kata demi kata yang tertulis di kertas tersebut.
Dear Naru-kun...
Ohayou, Naru-kun... Aku harap kau baik-baik saja. Naru-kun, aku ingin kau berjanji padaku. Dan janji ini berlaku seumur hidupmu, Naru-kun. Ku harap kau mau...
Berjanjilah Naru-kun, bahwa kau akan terus hidup bahagia. Jangan merasa kehilangan yang berkepanjangan, tidak baik untukmu. Ingatlah kau masih punya semuanya. Maka dari itu, jika bisa... tidak, kau harus bisa Naru-kun... Kau harus bisa melupakan aku. Lanjutkan hidupmu karena aku tidak akan pernah bisa kembali padamu. Jangan terlalu rindu juga. Kaami-sama juga pasti membantumu. Dia telah berjanji padaku. Jaga semua milikku yang ada di dekatmu.
Yang terpenting, jaga hatiku, Naru-kun...
Karena dengan tetap menjaga hatiku, juga cintaku, aku akan selalu ada dikatmu...
Gomenn Naru-kun, aku tidak bisa menyampaikan ini langsung padamu.
Aishiteru, Uzumaki Naruto...
*FLASHBACK OFF*
'Haahh'... Naruto menghela napas singkat.
Kenangan tentang seorang gadis yang dicintainya. Yang juga telah pergi menghadap Sang Kaami-sama. 'Ohh... Kaami-sama...' Kepala Naruto menengadah. Beralih menatap pepohonan pinus yang menjulang di hutan itu. Tepat di bangku yang selalu didudukinya bersama Hinata.
Dia memejamkan mata, meresapi dinginnya angin hutan Konoha. 'Setega itukah dirimu? Kau tak membiarkan aku membahagiakannya terlebih dahulu... Kau tegesa-gesa mengambilnya... Andai kau sedikit mengulur waktu dan membuat operasi itu berhasil... Dan memperpanjang waktunya... Aku... Aku pasti akan menikahinya... Dan kau malah menuruti dia... Kaami-sama...'
'Huufftt' Naruto menghela napas singkat. Dia tampak mengeluarkan selembar kertas lecek yang seperti sudah berkali kali dibaca. Meski kertasnya sudah lecek, tidak menghilangkan keindahan tulisan tangan si pengirim. Perlahan, Naruto membaca kata demi kata yang tertulis di kertas tersebut.
Dear Naru-kun...
Ohayou, Naru-kun... Aku harap kau baik-baik saja. Naru-kun, aku ingin kau berjanji padaku. Dan janji ini berlaku seumur hidupmu, Naru-kun. Ku harap kau mau...
Berjanjilah Naru-kun, bahwa kau akan terus hidup bahagia. Jangan merasa kehilangan yang berkepanjangan, tidak baik untukmu. Ingatlah kau masih punya semuanya. Maka dari itu, jika bisa... tidak, kau harus bisa Naru-kun... Kau harus bisa melupakan aku. Lanjutkan hidupmu karena aku tidak akan pernah bisa kembali padamu. Jangan terlalu rindu juga. Kaami-sama juga pasti membantumu. Dia telah berjanji padaku. Jaga semua milikku yang ada di dekatmu.
Yang terpenting, jaga hatiku, Naru-kun...
Karena dengan tetap menjaga hatiku, juga cintaku, aku akan selalu ada dikatmu...
Gomenn Naru-kun, aku tidak bisa menyampaikan ini langsung padamu.
Aishiteru, Uzumaki Naruto...
Hinata-hime
Tak terasa, air matanya meluap. Di memang selalu terlihat cengeng saat membaca surat itu. Manik safirnya menyiratkan rindu. Rindu pada kekasih hati. Ia berharap, kekasihnya itu akan selalu behagia di sisi Kaami-sama.
Tanpa Naruto sadari, dibalik pohon pinus besar dan tua yang berada di belakang bangku yang di dudukinya, sekelebat bayangan bersurai indigo mengkilap tengah memperhatikannya dari jauh. Jika kau melihatnya dari dekat, kau akan melihat bayang itu sedang tersenyum simpul.
*OWARI*
Huwee... Terharu bisa nyelesein...
Maaf kalo banyak kurang... Maklum boo... First time biasa ya ~~
Jaa-ne...